KEBERSAMAAN
ETNIS MINANG DAN ETNIS JAWA DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN DI DAERAH DHARMASRAYA
oleh : Kristinawati
Dharmasraya
adalah sebuah kabupaten di Sumatera Barat dan menjadi wilayah otonomi paling
baru di Indonesia. Dharmasraya berdiri berdasarkan Undang-Undang pemekaran
daerah sejak tanggal 7 Januari 2004 dan terpisah dari kabupaten induknya,
Sawahlunto-Sijunjung. Konon nama kabupaten Dharmasraya diambil dari legenda masyarakat
sekitar. Gabungan kata Da atau Uda yang berarti panggilan untuk laki-laki
keturunan minang, kata Mas berarti panggilan laki-laki keturunan jawa
dan kata Raya berarti pengharapan agar daerah tersebut menjadi besar.
Dapat disimpulkan, Dharmasraya merupakan tempat tinggal keturunan jawa dan
keturunan minang yang nantinya menjadi negeri yang besar.
Dharmasraya menjadi tempat transmigrasi pertama dan terbesar di
Indonesia yang pernah ada. Penduduk dari pulau Jawa, tepatnya penduduk dari kabupaten
Wonogiri, provinsi Jawa Tengah harus meninggalkan desa dan menuju Dharmasraya karena
tempat tinggal mereka digunakan untuk membuat waduk, yang sekarang bernama waduk
Gajah Mungkur .
Perbedaan antara pendatang dari Pulau Jawa dan penduduk asli sangat
terlihat disana, walaupun dengan beragam perbedaan yang ada, kedua pihak tetap
membangun kebersamaan. Bentuk perbedaan mulai dari prilaku, budaya, agama, adat
istiadat, bahasa, dan makanan dapat dilihat dengan jelas disana. Terkadang
bentuk wajah dan warna kulit juga dapat menjadi pembeda antara dua etnis
tersebut.
Menurut hemat penulis, ada perbedaan yang paling mencolok dari pendatang
dan penduduk asli di sana. Meskipun begitu, perbedaan tersebut seolah tidak
tampak karena menjadi suatu perpaduan yang sangat indah. Perbedaan/keunikan
yang pertama, perbedaan pengunaan bahasa masing-masingnya, pendatang
dari pulau Jawa menggunakan bahasa Jawa dan penduduk asli menggunakan bahasa
Minang, pemersatu keduanya yaitu dengan berbahasa Indonesia. Upaya penggunaan
bahasa Indonesia membuat kebersamaan di antara keduanya, mereka saling
berkomunikasi, bertukar cerita, dan menjalin kerja sama tanpa merasa ada
hambatan dalam penggunaan bahasa. Keunikan terjadi disini, pendatang dari pulau
Jawa mulai mempelajari bahasa melayu yakni bahasa yang dipakai oleh penduduk
asli, dan sebaliknya penduduk asli mulai mempelajari bahasa Jawa. Logat atau
gaya bahasa yang di hasilkan keduanya sungguh lucu dan berbeda. Tidak heran
jika penduduk Minang bisa berbahasa Jawa dan pendatang dari Jawa bisa berbahasa
melayu.
Kedua, yang mencolok kedua adalah persoalan makanan, makanan khas Minang
yakni Rendang, makanan berbahan dasar daging sapi dan diolah dengan
berbagai macam bumbu dapur dan santan kelapa. Rendang mempunyai cita
rasa yang pedas. Pembuatan biasanya dalam perayaan besar seperti acara
pernikahan penduduk minang, dan kini Rendang telah dibuat juga dalam
perayaan pernikahan pendatang dari Jawa, mereka sangat lihai dan pandai
membuatnya, hanya saja perbedaan dengan Rendang khas Minang lebih pedas,
dan Rendang khas Jawa lebih manis, seperti kebanyakan masakan Jawa
lainnya.
Ketiga, dari segi pernikahan, pernikahan penduduk Minang tentu sangat
berbeda dengan pendatang dari Jawa, baik dari segi pakaian pengantin, prosesi,
adat istiadat, makanan yang disajikan, dan lain-lain. Perbedaan tersebut kini
telah menjadi perpaduan yang indah, ditunjukkan dengan
pernikahan antar kedua etnis, pendatang dari Jawa menikah dengan penduduk Minang, tidak ada
larangan dalam pernikahan tersebut. Pernikahan tersebut membawa kebudayaan
baru. Pernikahan penduduk Minang sering kali mewah dan banyak mengeluarkan
biaya, lain halnya dengan penduduk Jawa, mereka sederhana dan lebih hemat.
Bayangkan jika keduanya menyatu, maka terjadilah sesuatu yang baru disini.
Keempat, dari segi kepemimpian yang mengatur
kabupaten Dharmasraya, Dharmasraya adalah sebuah kabupaten dan dikepalai oleh
seorang bupati dan wakil bupati. Bupati yang dipilih dan mencalonkan diri
bermacam ragam latar belakang, ada yang merupakan putra daerah asli, ada pula
putra pernikahan penduduk Minang dan pendatang dari Jawa, dan ada pula yang
murni putra dari pendatang dari Jawa. Semua bebas mencalonkan diri, asalkan
memenuhi kriteria pencalonan, dan pemilihan nantinya berasal dari dalam hati
masing-masing. Pemimpin dari tahun ke tahun bergam, dan di periode ini
Dharmasraya di pimpin oleh seorang bupati dari putra daerah asli, dan wakilnya
dari putra pendatang dari Jawa. Sugguh, dua kolaborasi yang menakjubkan, karena
Dharmasraya periode ini menjadi daerah panutan pembayaran pajak terbanyak dan
terbaik di Sumatera Barat. Infrastruktur di Dharmasraya semakin baik, dan
pemerataan pendidikan juga cukup baik. Tidak menjadi hal yang mustahil jika
nantinya Dharmasraya di pimpin oleh putra pendatang dari Jawa, yang terpenting
yakni agar Dharmasraya menjadi daerah yang besar dan dapat menjadi panutan.
Kelima, yakni pendidikan yakni dari pendidikan dan
kesenian. Sekolah-sekolah di Dharmasraya di wajibkan mempelajari mata pelajaran
Budaya Alam Minangkabau (BAM) yakni mata pelajaran yang mempelajari
kebudayaan dan adat istiadat penduduk Minang. Siswa dari pendatang Jawa juga
ikut mempelajari mata pelajaran itu. Selain itu, siswa dari penduduk Minang juga
mempelajari kesenian dari Jawa Jawa seperti, tarian, alat musik, dan nyanyian.
Tidak heran, jika siswa Jawa pandai menari Piring, tarian asal Minang,
dan penduduk Minang pandai menari Kuda Lumping, tarian asal Jawa.
Keenam, dari bentuk rumah. Rumah penduduk Minang
biasanya lebih tinggi dan seperti panggung, sedangkan rumah pendatang Jawa
langsung berdiri di atas tanah. Tapi sekarang banyak dijumpai rumah-rumah
penduduk Minang tidak lagi seperti panggung, mereka membangun langsung di atas
tanah.
Keunikan dua budaya berbeda yang berada dalam satu daerah membawa
dampak yang sangat positif baik dari penduduk Minang maupun penduduk Jawa.
Keduanya telah berkomunikasi dan berbaur untuk membangun keluarga dan
persaudaraan. Mereka merasa semua sama, mereka sama-sama penduduk Indonesia,
dan memiliki tujuan sama-sama membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.
Semoga, pendatang dari Jawa dan penduduk Minang tetap
mempertahankan kebersamaan seperti ini, walaupun tidak dipungkiri ada beberapa
konflik yang mungkin akan terjadi, tapi berusahalah untuk mencari solusinya.
Sebagai penulis saya bangga tinggal di Dharmasraya, saya banyak belajar tentang
perbedaan. Berbeda bukan berarti tidak sama. Berbeda bukan berarti tidak bisa
rukun dan bahagia. Hendaklah meniru dan menjadikan teladan contoh-contoh di
atas, karena masih banyak di luar sana yang takut dengan perbedaan dan ada pula
yang masih mempersoalkan perbedaan hingga berujung dengan peperangan. Semoga
bermamfaat. Amin.
Komentar
Posting Komentar