DERAI AIR MATA SI GADIS BERDARAH MINANG
2
Tahun silam masih teringat betapa bergetar hati dan mengigilnya kedua tangan
saat aku menerima pengumuman resmi hasil kelulusan dari Seleski Prestasi
Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keislaman Negeri (SPAN PTKIN), seisi kelas
bimbingan belajarku tiba-tiba rusuh, semua orang tidak lagi memperhatikan guru
di depan kelas, termasuk diriku. Kucoba beranikan diri membuka situs penguguman
tersebut, walau sempat takut, takut menerima kegagalan untuk kedua kalinya, aku
sempat menangis dan mengurung diri di kamar dan malu pada Apak
(panggilan ayah di Sumatera Barat) dan Amak (panggilan ibu di Sumatera
Barat) karena gagal dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri
(SNMPTB) untuk pertama kalinya.
Bismillah, itu
kata-kata yang tidak henti-hentinya aku sebut, mulailahku buka dan muncul
tulisan yang mengatakan bahwa aku diterima di salah satu Perguruan Tinggi
Negeri Islam di Yogyakarta tepatnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta dengan jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Tetesan demi tetesan air mata
ternyata sudah jatuh, dan seisi kelas mengucapkan selamat atas kelulusan
tersebut padaku.
Perasaan
bahagia begitu menyelimutiku siang itu, bagaimana tidak, aku akan berangkat ke
Yogyakarta, kota yang disebut-sebut orang dengan gelar kota pendidikan, kota
yang berisi para pelajar dari seluruh penjuru di Indonesia, bagaimana aku bisa
berhenti memikirkan bahwa aku akan bertemu pelajar yang berbeda-beda suku,
berbeda kulit, berbeda agama, oh tidak bahagia sekali aku siang itu. Aku juga
berpikir akan naik pesawat lalu membawaku ke kota pendidikan tersebut, jujur
saja aku anak desa yang belum merasakan bagaimana naik pesawat, naik
transfortasi udara dan melihat dunia dari atas sana, masih dalam ingatan bahwa
aku dan teman juga pernah keluar ruang kelas dan melihat bagaimana gagahnya
benda itu terbang, dan tanpa sadar kedua tangan kami ikut malambai-lambai di
udara.
Matahari
mulai tenggelam dan suara azan di masjid mulai berkumandang itu tanda bahwa aku
akan pulang, masih dalam suasana hati yang bahagia aku menuju rumah. Di depan
rumah aku masih tersenyum karena mambayangkan akan pergi ke Yogyakarta. Kubuka
pintu, tenyata Amak masih sibuk di dapur menanak nasi untuk makan malam,
dan Abak aku lihat sedang menunaikan sholat Magrib. Aku berencana untuk
menyimpan berita baik ini, akan kubongkar dan umumkan pada semua orang yang ada
di rumah saat sedang menonton sinetron kesukaan selepas sholat Isya.
Isya
telah berlalu, semua orang mulai duduk di depan televisi, aku melangkah
perlahan pada Amak lalu berbisik “Amak, aku lolos di Universitas
Islam Negeri Yogyakarta” Amak tiba-tiba diam seribu bahasa, kemudian aku
bisikan perkataan serupa pada Abak “Bak, aku lolos di Universitas
Islam Yogyakarta,” Abak tidak henti-hentinya mengucapkan syukur pada
tuhan dan aku bisa lihat bagaimana raut bahagia di mukanya. Tetapi tidak pada
raut muka Amak, Amak memang beberapa kali menasehatiku agar
jangan memilih universitas di luar provinsi, yakni di luar Sumatera Barat.
Amak
pernah mendengar berita-berita buruk dari teman pengajiannya tentang pergaulan
di pulau Jawa baik itu yang ada di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau bahkan
Yogyakarta. Amak selalu bilang bahwa pergaulan di Pulau Jawa sangat
berbeda dengan Sumatera, sering juga melihat bentrok dan tawuran sesama pelajar
SMA di sana, banyak pencurian dan kejahatan di sana, mahasiswa yang sering demo
anarkis, dan yang paling ditakutkan Amak banyak pelajar dan mahasiswi
yang terlibat pergaulan bebas serta yang memakai narkotika. Hal tersebut tentu
selalu menjadi buah pikiran bagi Amak jika aku melanjutkan pikiran di
pulau Jawa.
Hati
kerasku selalu mengalahkan apapun, aku selalu memberikan pengertian dan hal-hal
baik tentang Jawa, dan aku selalu bertekad merantau atau keluar dari kampung
halaman seperti kebiasaan kebanyakan para saudara dan tetanggaku, yang berharap
merantau dapat memperbaiki perekonimian di keluarga mereka, tetapi bagiku
merantau adalah mencari pengalaman, bertukar kebudayaan, dan menambah relasi
pertemanan dan tentunya jalan-jalan. Aku juga selalu bilang Jawa itu tidak
hanya tentang yang hal buruk saja, atau seperti yang sebatas penglihatan di
televisi atau cerita-cerita dari teman ibu. Aku juga memberitahukan pada Amak
bagaimana bagusnya pendidikan di kota, fasilitas yang memadai, dan anak-anak
kota yang banyak prestasinya.
Kekhawatiran
Amak tenyata benar, awalnya Amak memang tidak mengetahui bahwa
aku mendaftar pada salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, yang Amak
tau aku gagal dalam SNMPTN yang berdasarkan nilai lapor dan sedang
mempersiapkan ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang
merupakan tes tulis, dan butuh persiapan matang hingga aku harus mengikuti
pelajaran tambahan yakni di salah satu pusat bimbingan belajar dekat rumahku. Aku
sudah tahu manis dan pahitnya jika aku melanjutkan pendidikan di pulau Jawa.
Semua keberanian telah ku kumpulkan dan aku akan tetap memilih belajar di sana.
Awalnya aku mengikuti saran Amak untuk tetap melanjutkan pendidikan di
kampus area Sumatera Barat, dan ternyata aku gagal. Mungkin ini takdir, aku
tetap memilih kampus di pulau Jawa tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku
melalui Seleski Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keislaman Negeri
(SPAN PTKIN).
Amak
mulai menangis, Amak tau bagaimana keras hati dan kokohnya pendirianku
untuk tetap melanjutkan pendidikan di Universitas Islam di Yogyakarta itu.
Adik-adikku juga mulai diam, ayah juga memilih hening, dan suara televisi tetap
tetap hiruk seperti biasanya. Kurang lebih seminggu Amak mendiamkanku, Amak
juga tampak bercerita pada nenekku atas kabar keberangkatanku ke pulau Jawa,
paman-paman dan bibi-bibi bahkan anak mereka juga mengetahuinya, kabar
keberangkatanku telah diketahui oleh seluruh keluarga besarku. Beberapa paman
mengizinkan niat baikku setelah mendengar beberapa penjelasan dan dan ada pula pamanku
yang terang-terangan menolak kepergianku dan memintaku untuk memikirkan
kembali.
Penolakan
beberapa paman juga membuat kepergianku semakin tertunda, sebagai orang
Minangkabau kekerabatan antara paman yang kami sebut dengan Mamak dan aku sebagai keponakan atau Kamanakan itu
sangat erat. Kedudukan Mamak dalam adat tradisi Minangkabau adalah
pemimpin yang harus dihormati dan harus memimpin para kelurganya dan Kamenakannya.
Mamak harus mebimbing, memelihara, memberi nasehat dan mengembangkan kemenakan.
Karena hal itu, para Mamak yang ada dikelurga ku perlu dipertimbangkan
alasan penolakannya, dan jika aku tak mendengarkan maka akan terjadi hubungan
yang tidak harmonis dan bahkan dapat menimbulkan perpecahan.
Amak
mulai tegas padaku, terlebih lagi penolakan nenekku, Amak sangat
menuruti apapun perkataan yang ucapkan oleh nenek, nenek menurut Amak
adalah orang yang paling wajib didengar perkataanya. Nenek bagi Amak
adalah segala-galanya.
Hari
demi hari mulai berlalu, kurang lebih seminggu lagi aku harus pergi ke
Yogyakarta untuk mengumpulkan berkas jika aku memang berniat melanjutkan di
sana. Amak tetap pada pendirian awal yakni tidak mengizinkan dan
menyarankan untuk mengikuti ujian mandiri masuk perguruan tinggi di Padang,
atau daftar saja ke kampus swasta. Aku coba membujuk Abak agar berkata
pada Amak dan mau mengizinkanku, aku dari awal sudah mengizinkan dan
memberikan pengertian baik pada ibu, tetapi Amak telanjur temakan
omongan orang dan dari paman-pamanku. Aku tahu yang ditakutkan oleh semua ibu
terhadap anak gadisnya, aku juga tahu kecemasan dan kekhawatiran saat diriku di
rantau yang tidak punya saudara satu pun.
Aku
mulai menangis dan selalu meminta Amak agar mengizinkanku pergi, tiba-tiba
saja terlintas dalam benakku untuk menghubungi salah satu alumni dari sekolahku
yang telah lebih dahulu melanjutkan perguruan tinggi di kampus yang sama aku
pilih. Aku coba menghubungi lalu meminta kakak alumni tersebut berbicara pada Amak,
dan berharap Amak akan luluh. Kurang lebih 2 jam bercakapan mereka, dari
jauh nampak mata ibu berkaca-kaca, dan aku tidak bisa mendengarkan secara
langsung percakapan mereka berdua karena mangantikan Amak memasak ikan
di dapur. Setelah telpon ditutup Amak mulai berkata “Amak perbelehkan
kau pergi asal kau mau berjanji tidak akan berbuat tindakan buruk di sana,
tetap menjaga sholat mu, dan tetap menjaga kehormatanmu sebagai perempuan
Minangkabau,” begitu jelas Amak dengan tegas. Aku mulai memeluk ibu dan
mengucap terima kasih.
Persiapan
mulai dilakukan, aku bereskan semua baju dan berkas serta keperluan yang
diperlukan nantinya. Tiket pesawat sudah dibelikan dan yang akan menemani
kepergianku ke pulau Jawa adalah bibiku, bibi bersedia atas tawaran yang
diajukan Amak padanya, Amak tidak bisa berangkat dikarenakan
pekerjaannya dan tidak ada yang mengasuh adik-adikku di rumah. Masih ingat
dalam benakku, tiba-tiba selepas sholat Subuh telpon berdering, telpon dari
bibiku yang tinggal berbeda kabupaten denganku, bibi tersebut juga mendengar
kepergianku, dan bibi tersebut meminta untuk tidak mengizinkanku berangkat ke
pulau Jawa dan mencari universitas yang ada di Sumatera Barat saja.
Amak
mulai goyah kembali, aku juga mulai menangis, akankah kali ini Amak
benar-benar tidak akan mengizinkanku, penjelasan dari bibi tenyata cukup
membuat goyah, bibi mengatakan bahwa beliau mendapat informasi bahwa kampus
yang akan kutuju merupakan kampus yang kebanyakan mahasiswinya telah melakukan
pergaulan bebas, dan kampus yang sudah tercemar. Aku begitu marah awalnya pada
bibi, karena hal tersebut Amak menjadi goyah, dan kuminta sekali lagi agar
tidak percaya dengan berita tersebut dan aku telah berjanji atas nama apapun
aku akan menjaga diriku dari perbuatan tidak baik tersebut.
Amak
merupakan gadis Minang yang sangat patuh pada adat tradisinya, Amak
gadis Minang yang selalu mendengar perkataan kedua orang tuanya dan nasehat
para Mamaknya. Di keluarga besarku belum ada anak gadis mereka yang
diizinkan pergi jauh dari provinsi Sumatera Barat. Hanya aku seeorang yang
berani menentang penolakan dari para Mamak, aku bukan bermaksud menetang
atau melawan, aku hanya membuat mereka yakin bahwa daerah di luar sana tidak
seburuk yang mereka kira, dan daerah di luar sana baik pula untuk kehidupan
anak-anak mereka.
Sebenarnya
bukan masalah itu saja, masalah ekonomi juga menghambat kepergianku, aku juga
menyakinkan Amak, aku akan berpandai-pandai dalam mengatur keuangan yang
diberikan. Akhirnya tanggal 12 Juli aku dan bibi berangkat ke pulau Jawa. Aku
sangat senang naik transportasi udara tersebut, aku tak henti-hentinya
bersyukur pada Allah, dan Amak juga tak henti-hentinya selalu menasehati
anak gadisnya ini. Sekarang aku telah 2 tahun di kota Yogayakarta, aku sudah
tau selak beluk Yogyakarta, aku selalu saja mengirimkan berita baik dan
indahnya Yogyakarta pada Amak, namun terkadang pagi-pagi Amak masih
sering menelponku dan bertanya apakah aku benar-benar telah di Jawa. Itu
sedikit cerita bagaimana aku mempertahankan dan memperjuangkan pendidikanku,
agar aku dapat menambah pengalamanku dan dapat berbenah untukku dan untuk
negeriku nantinya. Setelah pendidikan S1 selesai aku juga berencana untuk
melanjutkan ke luar negri dan mendobrak perspsi bahwa anak gadis boleh
berkelana kemanapun seperti halnya para lelaki.
Komentar
Posting Komentar