“Becak
Mati Karena Teknologi”
Oleh
Kristinawati
Rabu
siang, 11 April 2018. Waktu menunjukan pukul 13.30, sinar matahari terik siang
itu. Debu dan polusi berterbangan. Riuh rendah suara kendaraaan, bunyi klakson
ikut terdengar, dan sesekali juga terdengar obrolan orang-orang di tepi jalan.
Di
pinggir jalan, Karjono (50) duduk termenung di atas becak tua miliknya. Kemeja
batik, jaket coklat tua, dan celana hitam panjangnya tampak lusuh berkalang
debu. Demikian juga sendal jepit hijaunya, tampak sudah butut, tampak bolongan
di ujung kanan kiri, mungkin karena telapak kaki sering beradu dengan aspal
jalanan. Sesakali melihat kanan-kiri. Becak yang membawa penumpang setiap hari
tampak sudah tua “ Saya jadi tukang becak sudah 28 tahun mbak, sejak 1990”
ungkap Karjono, yang tengah mangkal di depan Ambarukmo Plaza.
Ayah
dari 5 orang anak, tidak memiliki kerja sampingan, penghasilan lain dibantu
oleh sang istri yang berjualan mie jawa dan nasi kucing setiap malam di
Bangutapan dekat dengan rumah. Rumah pun masih status sewa. Karjono mengaku
berasal dari keluarga dengan ekonomi yang sangat pas-pasan. Untuk memenuhi 5
anak dan 1 istri bukan hal yang mudah dengan penghasilan tukang becak, tidak
ada aset lain atau warisan peninggalan dari orang tua yang mereka punya, semuanya
bergantung pada becak dan jualan mie jawa.
Ada
pula cerita lain, Budi Pramono (52) tukang becak asli Klaten. Hanya pulang ke
Klaten seminggu sekali atau terkadang lima hari sekali. Tidurnya di malam hati
hanya di atas becak tuanya. Pramono telah dua hari berhutang di warung makan,
sedikit pemasukan yang didapatkan, hari ini dia hanya menarik dua pelanggan,
dan mendapat uang senilai Rp. 30.000 dan habis membeli bensin dan makan. Badanya
tampak kurus, hampir tidak ada lemak yang menempel. Rambut putih hampir
memenuhi seluruh kepalanya. Wajahnya berona kusut dan banyak kerutan di
keningnya.
Sisi
lain, Wahyo (60) asli Klaten, tinggal di Jl. Ampel no. 8 Papringan. Wahyo mulai
bekerja sebagai tukang becak sejak 1977 hingga sekarang. Mulai pukul 06.00-19.00.
Wahyo juga tidak memiliki kerja sampingan, memilih menjadi tukang becak karena
tidak ada modal, mengayuh becak dianggap sebagai olahraga baginya, dan membantu
tubuhnya agar tetap sehat walau sudah tua. Tidak dapat di prediksi kapan
pelanggananya akan datang, yang jelas tetap berusaha dan berdoa. “Kemaren saya tidak
dapat pelanggan satu pun mbak, semoga hari ini dapat ya” ungkap Wahyo yang
tengah mangkal di pertigaan Papringan.
Wahyo kini hidup
seorang diri, istrinya sudah lama meninggal. Wahyo memiliki 4 orang anak, dan
sudah memiliki keluarga dan memilih hidup terpisah dengan sang ayah.
Kemudahan Teknologi
Dunia
sudah mulai berubah. Dulu, kendaraan pribadi tidak terlalu banyak, internet diangap
sesuatu yang rumit dan “wah” bagi orang awam, teknologi belum begitu cangih,
tukang becak masih menjadi pilihan transfortasi. Sekarang, lewat telpon gengam
saja sudah bisa pesan ojek dengan cepat, cari tugas sekolah, dan pesanan
makanan.
Kemudahan
teknologi memang membawa dampak baik bagi kehidupan, keuntungan-keuntangan yang
dibawa teknologi semakin banyak terlihat, tetapi kerugian-kerugian juga semakin
dekat dan tampak jelas. Kehidupan tukang becak misalnya, penghasilannya mulai
tergusur sejak munculnya ojek online, tidak memiliki perlindungan sama sekali, pengaduannya
pun sering kali tidak ditanggapi. Mereka telah hidup sejak dahulu dan sekarang
mereka menjadi orang-orang yang terlupakan akibat kemudahan teknologi.
Tukang
becak selalu mengeluh, kadang juga terdengar di berbagai kota teman-teman sesama
becak berdemo dan menuntut agar segera menutup dan mensegel perusahaan ojek
online. Aksi dorong dan adu mulut juga sering terjadi dengan pihak polisi.
“
Saya dan temen-teman sesama tukang becak terus mempermasalahkan hal ini, kami
sering demo, becak transfortasi lokal, otonomi daerah, waktu kami demo Sri
Sultan Hamengkubuwana tidak berani turun, yang datang hanya staf bawahannya
saja” ungkap Karjono dengan nada suara yang sedikit tinggi.
Kepercayaan
kepada pemerintah pun semakin berkurang, khususnya tukang becak merasa peran
pemerintah masih lemah, citra pemerintah yang muncul di televisi selalu diunggul-unggulkan,
tetapi kenyataannya tidak begitu lihat saja yang terjadi pada tukang becak.
Perjuangan melawan kemiskinan dan mencari jalan keluar belum saja terselesaikan.
Yang miskin semakin miskin dan yang kaya yang memiliki modal makin bertambah
kekayaannya.
Karjono
menyebut dirinya mati, mati menurut Karjono mati tukang becak, transfortasi lokal
yang telah lama ada, mati oleh teknologi canggih. “Volume kendaraan bermotor
tidak begitu merebut pelanggan kami mbak, kemunculan trans Jogja (TJ) tidak
begitu mengkhawatirkan kami, pelanggan kami masih tetap banyak, tetapi setelah
muncul ojek online saya mati total. Memang mahasiswa dan pendatang lebih suka
naik ojek online, tapi ya dibatasi lah, cari solusi dari pemerintah, ini tu
permainann Cina kita sudah dijajah, Indonesia sudah dijajah dengan cara halus”
Karjono menambahkan.
Cerita
ini berlanjut, ketidakpercayaan Karjono pada pemerintah membuatnya memilih
golput dalam setiap pemilihan presiden di negara ini, hal tersebut sudah
terjadi sejak masa reformasi. Dia beranggapan pemerintahan tidak baik dalam
menjalankan tugasnya, terbukti banyak koruptor yang terungkap namanya dan masih
pemberitaan di televisi. Dia juga mengatakan bahwa dirinya dan keluarganya
tidak menerima sedikit pun bantuan dari pemerintah.
Berbeda
dengan Karjono, Wahyo tidak mengeluhkan penghasilannya yang sedikit, dia juga
tidak mau ambil pusing dengan driver online
yang menurut sebagaian teman sesama tukang becak telah merebut pelanggannya.
Dia juga menyampaikan keinginannya beralih menjadi driver online, yang lebih
banyak penghasilannya, mengikuti zaman, dan lebih mudah. Hanya saja, keinginan
tersebut terbatas oleh modal dan ketidakmampuan memakai telpon gengam yang
cangih.
“Ngomongin hasil, itu rezeki dari tuhan. Saya
gak punya modal buat beli motor, tapi kalau ada yang kasih modal, saya mau
ngojek online dan ninggalin becak. Penghasilannya ojek online banyak dan tukang
becak sedikit, pekerjaan itu ujung-ujungnya cari hasil, biar dapet uang” ungkap
Wahyo.
Ilham
Rozak, mahasiswa jurusan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, yang menjadi driver di
salah satu perusahaan ojek online sejak akhir Desember juga mengatakan bahwa
kehadiran ojek online membantunya dalam menambah uang jajan, bahkan ia dapat
menabung. Berdasarkan pengalamanya ia pernah menaiki TJ membuatnya tidak ingin
naik lagi. “naik TJ diajak muter-muter, kalau transit nunggu bis selanjutnya
juga lama, dan terkadang berdesak-desakan. Walaupun biaya murah, saya tidak mau
naik lagi, mending naik ojek online beberapa menit nyampe, juga gak
desak-desakan” ungkapanya.
Berdasarkan
catatan ini, ada beberapa hal agenda yang perlu dan segera di lakukan oleh
pemerintah. Agenda tersebut tidak lain untuk mengurangi kemiskinan yang ada,
agar tetap terpenuhinya kebutuhan pada keluarga tukang becak, dan agar terjalin
keharmonisan tukang becak dan driver ojek online dalam masalah wilayah kerja.
Yang terpenting mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintah, bahwa
pemerintah bertugas membantu permasalah rakyat, dan hal ini peran pemerintah
sangat di perlukan. Kalau tidak pemerintah siapa lagi ?
Komentar
Posting Komentar