Aku dan Kemandirianku
Namaku Kristinawati. Aku lahir di Padang, 08 Agustus 1998. Aku anak
pertama dari empat bersaudara, aku lahir dari pasangan suami-istri yang
berprofesi sebagai pedagang. Aku dari kecil telah dididik menjadi pribadi
mandiri, pribadi yang dapat hidup jauh dari orang tua. Saat duduk dibangku
Sekolah Dasar, aku sudah tinggal jauh dari orang tua, aku tinggal bersama
nenekku yang bertempat tinggal di Pariaman. Setelah tamat dari sekolah dasar
aku melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hikmah Dharmasraya yang
berlokasi 2 jam dari rumah orang tua. Jarak itu tidak memungkinkan diriku untuk
pulang pergi ke sekolah sehingga aku tinggal di asrama selama menempuh pendidikan.
Selama SMA aku kembali lagi ke Pariaman, bersekolah di MAN dan tinggal di rumah
tanteku. Tamat dari MAN, Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa, tepatnya di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebuah mobil sedan tua melaju ke arah Bandara Internasional
Minangkabau, aku dan tanteku duduk di bangku kedua, aku berada tepat di
belakang sopir. Jujur, ini adalah perjalanan pertama ku ke bandara dan naik
pesawat. Rasa cemas, takut, dan sedih bercampur menjadi satu. Mobil sedan tua
itu pun memasuki bandara, aku dan tanteku turun dan langsung menuju tempat check
in, setelah menyelesaikan administrasi, aku pun langsung masuk ke dalam
pesawat, tiba-tiba handphoneku bergetar, ternyata sms dari ibuku, ibuku
berpesan agar berdoa sebelum memulai perjalanan. Ibuku tidak dapat menemani
perjalananku karena harus mengurus pendidikan adik bungsuku.
Akhirnya aku tiba di Yogyakarta, setelah menempuh perjalanan kurang
lebih tiga jam. Aku langsung memesan taksi, taksi pun melaju ke tempat tujuanku.
Universitas Sunan Kalijaga, itu tulisan pertama yang kubaca saat memasuki
kawasan kampus. Jajaran bangunan tua yang kokoh dan tersusun begitu rapi.
Tiga hari pun berlalu, tanteku kembali pulang ke Padang, kini aku
sendiri tanpa saudara, keluarga, tak ada seorang pun yang ku kenal. Aku harus
benar-benar mandiri, saat itu adalah bulan Ramadhan, bulan dimana orang-orang
berkumpul dengan keluarga, sahur dan berbuka bersama. Tahun ini aku harus
sendiri, menyantap makanan berbuka sendiri, tarawih sendiri, terbangun sahur
sendiri, dan bahkan aku harus di kos sendiri, teman-teman yang tinggal satu kos
bersamaku mereka pulang ke daerah mereka masing-masing. Aku baru saja datang
tidak mungkingkan aku pulang ke Padang, jarak Padang-Yogyakarta tidaklah dekat,
biaya transportasi tidak sedikit.
Beberapa minggu berlalu, kata sendiri dan mandiri mulai terbiasa,
hari raya Idul Fitri pun datang, tangisan ku pecah ketika mendengar gema takbir
berkumandang, seluruh umat islam berbondong-bondong ke masjid, anak-anak
bergembira memakai baju baru, tetangga di sekitar kosku sibuk bersalam-salaman,
memakai kue dan masakan, mereka semua terlihat sangat gembira. Tapi tidak untukku,
aku hanya termenung dan menangis di kamar kecilku, aku harus merelakan segala
kegiatan yang biasa ku lakukan di saat lebaran di tahun sebelumnya,
bersiraturahmi ke rumah tetengga, bersalaman-salaman dengan keluarga, mencicipi
kue buatan nenekku, menyantap rendang buatan ibuku, dan masih banyak lagi, tiba-tiba
handphoneku berdering, ternyata itu panggilan dari ibu, ibuku mengucapkan
selamat hari raya idul fitri, ibu minta maaf karena tidak bisa merayakan hari
raya bersama dengan putrinya. Tangisan kami berdua pecah, tangisan rindu anak
dan ibu.
Momen itu menjadi pengalaman berkesan bagiku, tidak pernah
terlintas sedikit pun dipikiranku aku harus merelakan diri untuk berjauhan
dengan orang tua dibulan Ramadhan. Orang yang merantau rela mudik dengan
kendaraan umum walau berdesak-desakan, walau biaya transportasi mahal, itu
semua hanya untuk berkumpul bersama keluarga mereka. Semua menjadi alasan untuk
menjadikanku lebih tegar di tanah rantau, menimba ilmu untuk masa depan. Semoga
suatu hari nanti, momen berharga ini terbayarkan oleh kesuksesanku kelak.
Komentar
Posting Komentar